Oleh: Amirudin, M. Pd
Kompetisi pemilihan kepala desa serentak di Kabupaten Bima tinggal menghitung hari. Pada tahun 2019 ini sebanyak 82 desa mengikuti Pilkades serentak dan bergelombang di Kabupaten Bima. Kompetisi inipun sangat bergengsi bagi para Calon Kades, apalagi team-teamnya sudah bekerja keras dengan luar biasa dalam meraih kemenangan dan semoga sang pemenang beramanah dalam kepemimpinan.
Urusan menang dan kalah, Allah sudah tentukan dan tercatat dilauhmahfudznya dengan ikhtiarnya masing-masing cakades. Pertarungan cakades ini tidak terlepas dari pemainan JUDI besar-besaran, money politikpun tak akan mampu dielakkan bagi para pemain.
Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur tentang Pilkada pasal 187 ayat 1 dan 2 sebagai berikut: (1) Setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada Warga Negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk ke dalam unsur “Ancaman pidana”.
Adanya Undang-undang tersebut demi mencegah tindakan money politik dan menjaga kenyamanan dan keamanan dalam berdemokrasi, sehingga demokrasi berjalan dengan aman, lancar, tertib dan tidak mencedarai politik.
Dalam penelitian Halili (2009), modus atau pola politik uang dalam pilkades meliputi empat pola. Pertama, membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon kepala desa lawan dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara.
Kedua, menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk membagikan uang. Ketiga, serangan fajar. Keempat, penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon kepala desa, yaitu bandar/pemain judi.
Timbul sebuah pertanyaan?
Mampukah kita melawan dan membersihkan money politik dalam setiap pentas politik? Semua harus diawali oleh para pelaku, misalkan calon kepala desa untuk berjanji dan bersumpah dihadapan publik (seperti viral dimedia sosial cakades wawo), seperti SUMPAH JABATAN saat dilantik dan masing-masing team suksesnya juga bersumpah seperti mereka layaknya sumpah dalam memegang jabatan sebagai Team Sukses untuk tidak money politik dalam meraih kemenangan yang tidak wajar dan money politik itu sangat mencederai politik yang demokrasi jujur dan adil.
Jika konsep ini dilakukan in shaa Allah, mungkin akan mengurangi money politik, semua calon kepala desa dan tim sukses pasti akan takut untuk melakukan money politik, sebab undang-undang sekarang dengan tuntutan yang begitu berat jika dicermati undang-undang tersebut, tapi itu semua tidak akan mampu mengalahkan dan mencegah money politik. Maka dari itu petugas berwenang harus mampu mencari solusi dan jalan keluar dalam hal MONEY POLITIK, agar demokrasi yang laksanakan berjalan dengan Aman dari money politik, lancar dan bersih dari money politik.
Kenapa Money politik terus terjadi di tengah-tengah masyarakat mendapatkan uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi, yakni termasuk tindakan menerima suap dan jual beli suara yang melanggar hukum, yang terpenting mereka mendapat uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik juga penyebab politik uang. Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan politik.
Itu semua bisa disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah atau masyarakat sendiri yang kurang peduli terhadap politik. Ketika ada hajatan politik, seperti pemilihan umum, masyarakat bersikap mengabaikan esensi dan lebih mengejar kepentingan pribadi sesaat.
Penulis merupakan Dosen tetap di STKIP Bima