Oleh: Muhjir Donggo
Dalam suatu bangsa yang ditandai oleh kecenderungan untuk membenarkan yang biasa, tidak membenarkan yang benar, kelompok yang berkembang acap kali merupakan peguyuban yang destruktif, seperti tercermin dalam istilah “budaya korupsi”.
Dalam situasi demikian, yang dibutuhkan bukanlah pemimpin yang konformis, gestur politiknya mengikuti ekspektasi kemapanan yang korosif. Tetapi yang di butuhkan justru pemimpin yang bisa berpikir _out of the box_ dan berani menawarkan pilihan yang berbeda dari arus utama.
Pembangunan desa dan daerah jelas menjadi prioritas utama pemerintah, pembangunan yang awalnya hanya berkutat di ibu kota, akan dicoba untuk lebih diratakan diseluruh pelosok desa yang ada Indonesia. Hal tersebut, tidak terlepas dari fenomena-fenomena ketimpangan pendapatan antar daerah.
Kalau dipantau lebih lanjut, dinamika sangat serius yang sering muncul adalah tingkat kesenjangan yang terjadi dalam suatu wilayah itu sendiri. Persoalan anggaran sering dianggap sebagai masalah pokok, meskipun banyak pihak yang justru tidak mempermasalahkan.
Namun demikian, pemerintah tetap concern dengan persoalan ini, dibuktikan dengan mulai dialokasikannya Anggaran Dana Desa (ADD) untuk tahun 2015, pengalokasian Dana Desa tersebut merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Peraturan pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2014 tentang dana desa yang bersumber dari APBN.
Meskipun draft alokasinya sempat ditolak oleh DPR periode 2014-2019 sejak itu, pemerintah telah menyiapkan mekanisme pengalokasian dana tersebut ke provinsi, kabupaten, dan kota.
Berdasarkan hasil perhitungan pemerintah NTB, NTT, Bali sebesar Rp500,3 miliar, Provinsi Papua Rp1,37 triliun, Sulawesi Rp878,6 miliar, Kalimantan Rp852,7 miliar, Pulau Jawa dan Sumatra memperoleh alokasi terbesar Rp3,6 triliun dan Rp1,86 triliun, kemudian di Pulau Jawa sendiri, Provinsi Jawa Timur mendapatkan alokasi terbesar yaitu Rp1,16 triliun dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 30.
Dengan mempertimbangkan jumlah daerah, maka Provinsi Papua memperoleh alokasi terbesar Rp1,17 triliun untuk 29 kabupaten/kota.
Penolakan DPR sendiri didasarkan pada pertimbangan pembangunan sumber pengalokasian Dana Desa dari anggaran Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang notabene merupakan anggaran Kementrian/Lembaga (K/L). Jika merujuk regulasi yang ada baik UU maupun PP, penolakan DPR sebetulnya dipertanyakan.
Di dalam pasal 4 PP Nomor 60 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Dana Desa bersumber dari belanja pemerintah dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan, meskipun dalam pasal 8 ayat 1 dijelaskan bahwa anggaran Dana Desa merupakan bagian dari Anggaran Belanja Pusat non K/L sebagai pos Cadangan Dana Desa (CDD). Pagu CDD ini nantinya akan diajukan oleh pemerintah kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan menjadi pagu Dana Desa.
Dalam pasal 72 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2014 juga menyebutkan bahwa Dana Desa bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan.
Dalam dokumen APBN 2015 yang telah disepakati, pagu Dana Desa sebesar Rp 9,06 triliun yang tercantum di dalam postur alokasi Transfer ke daerah; Rp 630,9 triliun bersama dengan komponen dana Pertimbangan (DBH, DAU, DAK) sebesar Rp 509,5 triliun, Dana Otonomi Khusus (Papua, Papua Barat, NAD) Rp16,5 triliun, Dana Keistimewaan DIY Rp 547 miliar serta Dana Transfer Lainnya Rp 104,4 triliun.
Dalam pasal 2 PP No. 66 Tahun 2014, disebutkan bahwa Dana Desa dikelola secara tertib, taat kepada peraturan perundang-undangan, transparan, efisien, ekonomis, efektif, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan serta mengutamakan kepentingan masyarakat setempat.
Dalam regulasi juga disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintah desa menganut asas desentralisasi menimbulkan pendanaan internal Desa (APBD Desa), sementara asas tugas pembantuan memberikan peluang bagi desa memperoleh sumber pendanaan dari pemerintahan yang ada diatasnya (APBN, APBD Provinsi, APBD Kab/Kota).
Juga untuk tahun-tahun yang lalu dana itu dinaikan menjadi Rp46,98 triliun, dan pada tahun 2017 kemarin ini, anggarannya dinaikan lagi menjadi Rp60 triliun, dan rencananya untuk tahun 2018 ini akan bertambah dua kali lipat menjadi Rp20 triliun.
Dengan sebesar anggaran dana desa akan digelontorkan agar dasa itu dapat digunakan dengan penuh tanggung jawab. Agar desa-desa dapat lebih mandiri dan dapat berperan dalam penggunan nasional.
Dengan adanya pembentukan satgas, sebelumnya Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal (KDTT), dan Transmigrasi, mengatakan pihaknya telah membentuk Satuan tugas dana desa.
Tugas Satgas ini adalah untuk membantu kepala desa mengelola dana desa sesuai ketentuan. “Ada sekitar 30.000 pendamping desa di seluruh Indonesia”, kata Menteri desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, (BBC Indonesia).
Sesuai regulasi yang dimaksud dengan keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tersebut menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan desa.
Sementara dalam pasal 72 ayat (1) disebutkan bahwa pendapatan desa bersumber darei: pendapatan asli Desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/kota; hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Di dalam penjelasan pasal 72 ayat (2), besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Dasa, ditentukan 10% dari dan diluar dana transfer ke daerah (on top) secara bertahap.
Dalam penyusunannya, anggaran yang bersumber dari APBN untuk desa dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk (JP), angka kemiskinan, luas wilayah (LW), dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.
Sebelumnya disahkan, beberapa pihak sempat berpolemik mengenal UU Desa ini. Pihak yang mendukung merasa bahwa selama ini desa menjadi bagian wilayah yang selalu terpinggirkan.
Desa kemudian identik dengan keterbelakangan, penduduk usia renta, profesi tak mentereng serta kemiskinan, yang terjadi kemudian penduduk usia produktif di desa berbondong-bondong pindah ke kota, dengan harapan memperbaiki tingkat kesejahteraannya.
Akibatnya desa semakin terpinggirkan sementara kota mengalami _over population_. Karena mereka menilai guyuran dana diharapkan mampu mengubah penataan wilayah desa, minimal menghambat meledaknya arus urbanisasi di kemudian hari.
Persoalannya, pihak yang menentang merasa bahwa persoalan utama desa bukan sekedar tidak adanya anggaran, bagaimana mengubah sistem, mind-set dan perilaku masyarakat justru menjadi agenda lebih krusial.
Ketika persolan ini belum mampu teratasi, ditambah dengan masalah kualitas manusia yang masih terbatas (SDM), alokasi dana melimpah justru menimbulkan moral hazard baru dikalangan aparat desa.
Dengan menggunakan asumsi data jumlah desa tahun 2014 sebanyak 72.944 desa, maka tiap-tiap desa diperkirakan akan mengelola dana sebesar Rp1,4 miliar. Dibandingkan dengan kondisi saat ini, penambahan alokasi dana tersebut tentu sangat luar biasa.
Indonesia sebetulnya memiliki contoh terbaik dalam kasus implementasi otonomi daerah di level kabupaten/kota. Otonomi yang sudah hampir menginjak hampir 15 tahun, justru terasa semakin jauh dari harapan awalnya.
Aspek kemandirian dan kematangan daerah serta daya saing justru tenggelam oleh arus birokrasi yang semakin kompleks, budaya korupsi yang merajalela serta pembentukan dinasti di daerah semakin menggurita.
Hal ini, sebetulnya tak lepas dari adanya perbedaan cara pandang diantara pemerintah. Awalnya otonomi diagendakan bersifat _a-simetris_ dengan tetap mengakui adanya kemajemukan daerah-daerah di Indonesia hari ini.
Kemajemukan tersebut justru dianggap sebagai warna tersendiri dalam potret ke-Indonesiaan, dan pemerintah sangat menghargai keragaman itu dengan tetap menunduk pada ke-istimewaan, tradisi dan asal usul terbentuknya beberapa wilayah tentu seperti NTB, NTT, Papua, Aceh dan Yogyakarta.
Sayangnya konsep _desentralisasi a-simetris_ ini justru diterjemahkan menjadi konsep _a-simetris desentralisasi_ dimana pemerintah Pusat memandang otonomi sebagai sistem yang mampu menciptakan kemandirian daerah, sementara daerah memandang otonomi justru sebagai mekanisme daerah potong kompas (short-cut) demi mendapatkan alokasi anggaran mandiri.
Pemekeran merupakan contoh sederhana terjadinya kondisi ini. Pemerintah pusat mendesain pemekaran sebagai bentuk alat untuk memutus mata rantai birokrasi dalam pelayanan publik demi meningkatkan efisiensi dan efektivitas kepada masyarakat.
Sebaliknya Pemerintah Daerah (PEMDA) memandang pemekaran sebagai solusi singkat mendapatkan alokasi anggaran mandiri lepas dari daerah induknya, serta menciptakan eselonisasi pejabat baru di daerah.
Dengan tanpa mengurangi penghormatan atas kebijakan yang sudah dihasilkan, Dana Desa sebenarnya memiliki potensi yang luarbiasa dalam upaya mempercepat pertembuhan dan meningkatkan Indeks Pembanggunan Masyarakat (IPM) Desa dalam rangka mengatasi berbagai persoalan yang selama ini ada.
Namun, bagaimana manjaga suapaya pemanfaatan tersebut tetap pada koridor yang diharapkan, menjadi PR seluruh elemen bangsa di Indonesia.
Selama ini masih banyak kepala desa tidak terbuka dengan anggaran dana desa. Mereka tidak patuh menjalankan UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Ketidak patuhan itu bisa jadi karena sebagian kepala desa merasa dirinya tidak bisa diberhentikan dari jabatannya dengan alasan dipilih langsung oleh rakyat.
Padahal berdasarkan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, seorang kepala desa bisa diberhentikan dengan tidak hormat, seperti tercantum dalam pasal 28 ayat (1), Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
Ayat (2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Harapannya, dengan anggaran yang meningkat maka desa dapat mengembangkan kualitas dan kesejahteraan masyarakat secara merata. Masyarakat desa berkualitas tentu menjadi input yang bermanfaat baik bagi desa maupun bagi daerah lainnya.
Desa yang maju ditunjang oleh perkembangan kota yang bijak, akan membawa Indonesia ke arah masa depan yang lebih baik kedepan, untuk itu mari kita wujudkan seluruh mimpi-mimpi tersebut sebelum terlambat. (#)