Jakarta, Warta NTB — Sejak Gunung Agung mengeluarkan abu vulkanis dan akhirnya meletus, NOTAM dikeluarkan pemegang otoritas bandara dan transportasi udara di Indonesia. Yang tertinggi adalah penutupan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai selama dua hari sejak Senin lalu (27/11/2017) dan dibuka lagi pada Rabu ini.
Keputusan menutup bandara tersibuk kedua di Indonesia itu semata-mata demi keselamatan penerbangan sipil dan milter. Mengapa? Karena ada kemungkinan peningkatan resiko keselamatan penerbangan jika pesawat terbang terpapar abu vulkanis dari gunung berapi, dalam hal ini katakanlah Gunung Agung (3.031 meter dari permukaan laut).
Kebanyakan pesawat terbang komersial sekarang bermesin jet, yang berprinsip kerja pada penghisapan, pemampatan, dan pembakaran bahan bakar pada ruang bakar yang sempit, untuk kemudian energi kinetik hasil seluruh proses kerja itu disemburkan ke belakang melalui saluran pembuangan. Inilah yang kemudian menghasilkan daya dorong.
Jika kita akan menaiki atau turun dari pesawat terbang melalui tangga biasa (bukan garbarata), luangkan waktu sejenak ke arah mesin-mesin jet yang menggantung di sayap. Ada tanda yang dipasang secara mencolok mata di lingkar tudung mesin (cowling) berupa tanda jangan berada di radius tertentu dari mulut mesin yang menganga lebar itu.
Orang bisa tersedot ke dalam mesin yang tengah berputar dan tergulung ratusan daun turbinnya. Akibat selanjutnya, tentu mengerikan. Karena itulah ada petugas yang berjaga di sekitar mesin-mesin itu dan mencegah pemakai jasa penerbangan berdiri dekat-dekat mesin yang tengah bekerja, misalnya untuk swafoto.
Pada saat pesawat itu mengudara di ketinggian jelajah, mesin-mesinnya akan menghisap udara sebanyak mungkin dan memampatkannya sedemikian rupa, kemudian bahan bakar diinjeksi di ruang bakar sehingga tercipta temperatur yang tinggi sekali. Apa saja bisa dihisap masuk ke dalam mesin melalui bilah-bilah daun turbinnya, termasuk abu gunung berapi.
Mengapa abu gunung berapi berbahaya bagi penerbangan?
Tidak lain karena partikel-partikelnya yang sangat halus (bisa dalam bilangan milimikron), pula dia bisa sebagian besar terdiri dari kompleks silika (SiO) yang sifatnya sangat keras, getas, dan abrasif-korosif. Jika dilihat memakai mikroskop, jelas terlihat bahwa profilnya tidak mulus seperti telur namun bersudut-sudut tajam.
Belum lagi komponen dan kompleks kimiawi penyerta lain, misalnya unsur besi (Fe), belerang (S) yang korosif dan asam, atau karbon (C) yang keras, dan sebagainya. Jadilah abu gunung berapi ini seperti amplas yang mengamplas sekaligus merontokkan struktur metal, keramik, dan komposit di dalam mesin.
Sekedar beradu dengan abu gunung berapi dalam kecepatan tinggi (di atas 800 km/jam) sudah bisa menimbulkan masalah serius bagi pesawat terbang di ketinggian. Apalagi jika abu gunung berapi itu tersedot ke dalam mesin jet dan beradu dengan daun-daun turbin jet yang berputar sangat kencang. Silakan bayangkan sendiri efeknya.
Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), dalam hasil studinya, menyatakan, abu gunung berapi mampu merusak apa saja yang bersifat permukaan di pesawat terbang; mulai dari kaca kokpit, lapisan luar fuselage pesawat terbang, dan bilah-bilah turbin mesin.
Dan yang paling parah adalah dia akan lumer di dalam proses pemampatan hingga pembakaran di dalam ruang bakar mesin jet, karena titik lumernya di jauh bawah temperatur tertinggi pembakaran di ruang bakar. Setelah dia lumer maka dia akan menempel kuat di permukaan benda-benda yang terpapar sehingga menambah daya hambat dan berujung pada kerusakan permanen subsistem itu.
Hal ini juga dinyatakan dalam Guidance Flight Safety and Volcanic Ash di dalam ICAO Document 9974/ANB 487 terbitan 2012, dengan penambahan, bahwa abu gunung berapi bisa menimbulkan malfungsi atau kegagalan satu atau lebih mesin secara bersamaan atau berurutan, mesin gagal memberi daya dorong, kegagalan sistem kelistrikan, pneumatik, atau sistem hidrolik.
Abu gunung berapi, juga bisa menggagalkan fungsi instrumen navigasi-komunikasi, memblok pitot dan sensor statik, hingga mengontaminasi udara di dalam kabin secara sangat serius. Abu gunung berapi ini bisa lumer, dan masuk ke dalam celah-celah instrumen navigasi pesawat terbang, misalnya altimeter atau instrumen pengukur kecepatan relatif pesawat terbang. Jika ini terjadi, walhasil, pilot seperti buta pada posisi relatifnya terhadap daratan dan arah.
Belum lagi jika abu gunung berapi itu mampu masuk ke dalam sistem pengkondisi udara dan sistem pengatur tekanan udara.
Catatan USGS menyatakan, pada kurun 1953-2009, terjadi 79 insiden penerbangan karena abu gunung berapi ini, dan 23 di antaranya menimbulkan masalah sangat serius dan membahayakan.
Atau catatan ICAO antara 1935-2008, terjadi 83 insiden penerbangan akibat pesawat terbang ada dalam jebakan awan abu gunung berapi ini.
Yang fenomenal untuk dipelajari adalah saat penerbangan Boeing B-747 British Airways menerbangi udara Pulau Jawa pada Juli 1982. Saat itu Gunung Galunggung di Jawa Barat sedang memuntahkan isi perutnya secara masif. Awan gelap menggantung sebagian Pulau Jawa, termasuk Jakarta, di mana atap-atap bangunan, pohon-pohon, atau apapun yang ada di luar ruangan tertutup debu berwarna abu-abu berkilau itu.
Boeing B-747 British Airways itu terlanjur ada di dalam awan abu Gunung Galunggung. Dalam dokumentasi hasil investigasi, dinyatakan, tudung mesin dan sebagian sayap pesawat terbang tiba-tiba memancarkan cahaya kemilau pada malam hari penerbangan itu terjadi, sampai keempat mesin jet pesawat terbang sempat tidak berfungsi sama sekali dan udara di dalam kabin terkontaminasi abu Gunung Galunggung itu.
Karena mesin tidak berfungsi maka pastilah ketinggian jelajah berkurang secara drastis, dan pada ketinggian kritis sebelum kecelakaan terjadi, tiba-tiba mesin bisa berfungsi kembali, sampai akhirnya mereka bisa mendarat secara selamat di Bandara Internasiona Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Kisah tentang insiden penerbangan yang menegangkan ini sangat terkenal dan menjadi bahan kajian di mana-mana.
Ada lagi pada 15 Desember 1989, saat pesawat terbang Boeing B-747 KLM nomor penerbangan 867 tiba tiba mesinnya mati mendadak, dan kokpit serta kabin pesawat terbang dipenuhi aroma khas belerang, aroma yang seharusnya hanya ada di kawasan gunung berapi di daratan.
KLM nomor penerbangan 867 dengan 231 pemakai jasa penerbangannya itu tengah dalam penerbangan mereka menuju Anchorage, Alaska. Sontak mereka yang semula tenang-tenang saja menjadi berkeringat dan diam seribu bahasa dan wajah-wajah khawatir menggantikan keceriaan mereka.
10 jam sebelum mereka melintasi ruang udara itu, Gunung Redoubt di Alaska meletus sambil melontarkan bebatuan, magma, serta abu vulkanis. Dan, inilah kondisi nyata yang tengah mereka terbangi saat itu. Dari ketinggian 27.900 kaki, Boeing B-747 KLM nomor penerbangan 867 anjlok ketinggiannya menjadi 13.300 kaki dalam waktu sangat singkat.
Di tengah kegentingan antara hidup dan mati bersama itu, pilot mampu menghidupkan kembali mesin-mesin jet Boeing B-747, dan mereka bisa mendarat selamat di Anchorage, Alaska. Mereka selamat semuanya, namun KLM harus merogoh anggaran 130 juta dolar Amerika Serikat untuk memperbaiki kerusakan pesawat terbang itu.
Pada 15 Juni 1991, juga dilaporkan insiden karena abu gunung berapi. Namun kali ini karena Gunung Pinatubo di Filipina, dengan dampak pada penerbangan di pantai timur Afrika, yang berada sekitar 5.000 kilometer dari gunung berapi itu berada. Saat itu, 20 penerbangan melaporkan diri terdampak secara serius atas penyebaran abu Gunung Pinatubo itu.
Indonesia dengan 127 gunung berapinya, menjadi salah satu negara dengan gunung berapi terbanyak di lingkar Cincin Api Pasifik, sudah seharusnya semakin meningkatkan kewaspadaan pada kemungkinan insiden terkait penyebaran dan dampak abu gunung berapi ini.
Penyebaran data dan informasi tentang aktivitas vulkanologis gunung-gunung berapi dalam jaringan komunikasi dan informasi pemangku kepentingan transportasi udara di seluruh dunia bisa membantu mengurai potensi insiden ini. Juga tidak kalah penting adalah peningkatan kualitas SDM pengawak pesawat terbang melalui peningkatan pendidikan dan latihan menghadapi situasi-situasi emerjensi.
Selain itu, peningkatan teknologi infrastruktur penerbangan dan instrumen serta rancang bangun pesawat terbang memberi sumbangan penting.
Dunia penerbangan sudah sangat akrab dengan keberadaan-kegunaan instrumen Traffic Collision Avoidance System, Ground Collision Avoidance System, atau pun radar cuaca, sehingga pengembangan teknologi untuk instrumen sejenis dan terkait bisa menyumbang besar untuk menghadapi sebaran awan abu gunung berapi yang berbahaya itu. [ant]