Jakarta, Wartantb.com – Beberapa waktu lalu, ramai berita di media massa dan media sosial terkait rencana Kemdikbud RI melakukan kebijakan “moratorium Ujian Nasional”— kebijakan tersebut membuat segenap guru, siswa dan orangtua siswa kaget tetapi mendukung penuh moratorium UN. Mayoritas anggota DPR RI Komisi X juga mendukung kebijakan moratorium meski disertai dengan pertanyaan “persiapan pemerintah seperti apa untuk ujian pengganti UN?”.
Namun, tidak lama kemudian, Wapres Jusuf Kalla dalam suatu wawancara doorstop di kantor Wapres secara mengejutkan menyatakan moratorium UN di TOLAK, padahal Presiden Joko Widodo belum memutuskan demikian dan baru akan menggelar Ratas pada minggu depan.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sebagai organisasi profesi guru yang getol menyuarakan penolakan UN sebagai penentu kelulusan siswa dan kosisten membuka posko pengaduan UN sejak 2011-2016 sangat menyayangkan pernyataan Wapres dan menyerukan Presiden Jokowi mendukung Mendikbud untuk mematuhi keputusan Mahkamah Agung tentang UN yang sudah ikrah sejak 2009.
Usulan moratorium sudah dilakukan sejak lama oleh FSGI, melalui perjuangan yang panjang bertahun-tahun diluar Pengadilan dengan cara berdialog dengan lembaga eksekutif di era Mendikbud M.Nuh, legislatif, dan juga perjuangan melalui Pengadilan.
“Sinyal adanya niat baik pemerintah melalui Kemendikbud Republik Indonesia yang mengakomodir aspirasi masyarakat untuk mengusulkan moratorium UN sangat dinantikan banyak pihak diantaranya peserta didik, pendidik, dan orang tua, yang merasakan kebijakan UN tidak membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat,”ujar Retno Listyrti, Sekjen FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia).
“Kami FSGI mewakili kelompok masyarakat menyambut gembira apabila di zaman pemerintahan Presiden Republik Indonesia Jokowidodo dan Mendikbudnya Muhadjir Efendi, UN benar-benar dihentikan. Atas niat baik, kepedulian terhadap pencapaian dan pemenuhan standar nasional pendidikan, Kami sampaikan terima kasih,” ujar Retno.
Menurutnya ada delapan (8) alasan UN Harus di Moratorium.
Pertama, UN tidak terbukti meningkatkan kualitas pendidikan seperti klaim Wapres JK, secara pedagogis UN membuat pembelajaran dan pengajaran menjadi kering, kebijakan penilaian pendidikan sebaiknya diserahkan guru dan sekolah, sementara pemerintah punya tanggungjawab mengembangkan kapasitas guru dalam mengajar dan menilai, sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan otentik.
Kedua, dengan standar pendidik minimal S1 (PP No.19 Tahun 2005 pasal 29 ayat(1) dan belum terpenuhinya standar sarana prasarana pendidikan tidak mungkin dibuatkan soal UN yang berindikator sama di seluruh wilayah Indonesia.
Ketiga, memaksakan diri menyelenggarakan UN dengan standar soal berindikator sama adalah perbuatan yang tidak berkeadilan sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 19 Tahun 2005 pasal 66 ayat (2).
Keempat, sebagian besar guru Indonesia tidak bangga dengan hasil UN yang diraih anak didiknya karena mereka melihat dan mendengar sendiri proses penyebaran kunci jawaban antar siswa, soal bocor, terlalu banyak pihak berkentingan dengan hasil UN, sulit dipercaya, dan hal ini masuk pada kategori pelanggaran UN dilakukan tidak obyektif (sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 19 Tahun 2005 pasal 66 ayat(2).
Kelima, hasil UN yang diharapkan adalah sebuah pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan,tapi kenyataan yang didapat adalah pemetaan ketidakjujuran berbagai pihak sehingga inipun termasuk pada pelanggaran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 19 Tahun 2005 pasal 68 huruh a.
Keenam, sepanjang UN dilaksanakan dengan rantaian yang panjang dari pusat ke daerah maka sepanjang itu pula peluang kebocoran soal begitu besar dan penyebaran kunci jawaban antar siswa sulit dibendung seiring dengan kemajuan iptek sekarang ini.
Ketujuh, UN yang dijadikan sebagai penentu kelulusan peserta didik (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 19 Tahun 2005 pasal 68 huruh c) berpotensi dan memberi peluang dan menjadi faktor pendorong banyak pihak untuk tidak jujur, sehingga dalam masyarakat sudah berkembang pola pikir dan akan menjadi hukum kebiasaan berpendapat tentang UN menyatakan dihadapan kita hanya ada dua pilihan jujur tapi tidak lulus atau tidak jujur tapi lulus.
Kedelapan, melalui UN yang pelaksanaannya tidak obyektif,dan mutu/kompetensi lulusan diragukan maka biaya penyelenggaraan UN ratusan miliar yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak sebanding dengan harapan kepastian pengukuran mutu, dan pencapaian tujuan pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 19 Tahun 2005 pasal 4).
Rekomendasi FSGI
Konsistensi dan kepedulian FSGI melakukan pemantauan dan kajian seberapa besar manfaat UN bagi pendidikan nasional, peserta didik, orang tua, dan masyarakat adalah dalam rangka melaksanakan: Pertama, UU No. 20 Tahun 2003 pasal 59 tentang kewenangan melakukan evaluasi penyelenggaraan UN.
Kedua, UU No. 14 Tahun 2005 pasal 42 tentang kewenangan memajukan pendidikan nasional.
Ketiga, UU No. 17 Tahun 2013 pasal 6 tentang kewajiban memberi masukan kepada pemerintah bahwa UN yang tidak jujur tidak berakibat siswa berakhlak mulia maka tidaklah mungkin dipertahankan sebagai sebuah nilai atau budaya.
Atas dasar hal-hal tersebut, maka FSGI menyampaikan rekomendasi ke Pemerintah Pusat untuk:
- Pemerintah segera menerbitkan keputusan moratorium UN
- Penyelenggaraan UN secara berkala setiap tiga atau lima tahun sekali
- Revisi PP No 19 Tahun 2005 pasal 68 huruf c yang menjadikan UN sebagai penentu kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan dengan cara hapus kausul ini dan lebih focus UN sebagai pemetaan mutu.
- Dana UN yang dianggarkan tiap tahun hendaknya dialokasikan kepada pembiayaan pencapaian standar kompetensi pendidik dan pemenuhan standar sarana dan prasarana pendidikan, terutama pelatihan untuk meningatkan kualitas guru.
FSGI besok selasa (13/12) akan menyampaikan hasil kajian UN dan rekomendasinya kepada Presiden Joko Widodo secara tertulis. (Release)