Mataram, Wartantb.com – Menjelang rekrutmen Badan penyelenggara Adhoc Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) NTB tahun 2018, ternyata jumlah anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) belum menemui titik pasti. Hal itu disebabkan karena PKPU tentang Badan penyenggara Adhoc belum tuntas, karena masih menunggu konsultasi dengan DPR.
Demikian dikatakan Anggota KPU RI Wahyu Setiawan ketika menjadi Narasumber dalam Rapat Koordinasi Pembentukan Badan penyelenggara Adhoc, Sabtu (9/9/2017)
Wahyu Setiawan mengatakan pada dasarnya Rancangan Peraturan KPU terkait jumlah anggota PPK sudah selesai dilakukan konsinering penyusunan PKPU Pileg dan penyelarasan KPU
Pada rakor Ketua divisi SDM seluruh Indonesia beberapa waktu yang lalu, jumlah PPK pada Pilkada ada yang beragumen tiga, tetapi ada yang mengarah kepada lima orang. Argumentasi yang mendasari kenapa tiga dan lima, menurutnya memiliki argumentasi yang sama-sama kuat.
Bagi anggota PPK yang berjumlah lima orang dasar hukumnya adalah: Pertama Putusan MK Nomor 91 yang menjelaskan bahwa pilkada berbeda dengan Pemilu. Kedua, terkait Undang-Undang Pilkada, dengan berlakunya UU No. 7 Tahun 2017 tidak ada satu pasalpun yang menjelaskan tidak berlakunya UU No. 10 Tahun 2016. Ketiga, sumber anggarannya berbeda antara Pilkada dan Pemilu, hal ini menguatkan dasar PPK berjumlah lima orang.
Sementara Pandangan PPK berjumlah tiga orang pada UU No. 7 Tahun 2017 dan UU No. 15 Tahun 2011 dinyatakan tidak berlaku. Ada unsur kebenarannya juga, karena dalam UU No. 7 Tahun 2017 mengatur tentang Pemilu 2019 yang artinya bukan mengatur tentang Pilkada.
Menurutnya, KPU dalam menyusun PKPU tidak berdiri sendiri, Peraturan KPU harus di-RDP-kan dengan DPR dan Pemda. Jika konsisten memilih lima dengan dasar hukum itu, maka PPK bisa delapan orang, lima orang PPK Pilkada dan tiga orang PPK Pemilu 2019. Namun hal itu berimplikasi pada Sekretariat PPK pada Pilkada dan Pemilu, ujar Wahyu.
Sebelumnya, Ketua KPU Provinsi NTB Lalu Aksar Ansori mengatakan pembentukan lembaga adhoc perlu dilaksanakan secara terbuka. Lembaga Adhoc yaitu PPK, PPS, dan KPPS memiliki kriteria kompetensi, independensi dan integritas.
Dari sisi prinsip terbuka, tentu proses rekrutmennya nanti memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk bisa menjadi seorang penyelenggara, termasuk didalamnya adalah penyandang disabilitas.
Pengumumannya bisa menggunakan laman website KPU Prov dan Kab/Kota, mengumumkan di media massa baik cetak maupun elektronik, dan disebarluaskan melalui tempat-tempat yang mudah diakses publik, seperti kantor kepala desa atau kantor lurah.
Soal kompetensi, selama ini alat ukurnya melalui pengetahuan kepemiluan dan demokrasi seperti dari seleksi administrasi dapat dilihat riwayat hidup calon badan adhoc dan bisa juga dilihat dari seleksi tulis serta wawancara.
Untuk milihat independensi calon badan peyelenggara adhoc tentu mereka harus imparsial, non partisan, bukan merupakan anggota partai politik. sementara untuk melihat integritasnya, KPU dapat meminta pendapat masyarakat.
Itu semua harus dirumuskan guna mencari cara untuk merekrut Badan Adhoc dengan kriteria kompeten, independen dan berintegritas, tegas Aksar.
Terkait dengan regulasi, ada beberapa hal yang tidak relevan lagi, terutama UU No. 10 Tahun 2016 pasal 16 dan pasal 21 yang merupakan prinsip rekrutmen, yakni berkompeten, independen dan berintegritas sehingga KPU Provinsi NTB masih menunggu Peraturan KPU yang bisa menjabarkan sebagai pengganti dari Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2015.
Misalnya terkait dengan rekomendasi kepala desa, hal ini sudah tidak ada. Ini yang harus menjadi perhatian kita, sehingga KPU Provinsi dan tiga Kab/Kota penyelenggara Pilkada 2018, pedoman teknisnya masih berupa draft yang mengikuti perkembangan peraturan KPU yang baru, pengganti dari PKPU Nomor 3 Tahun 2015.
Semantara itu, yang menjadi perbincangan tingkat nasional ada dua hal, yakni terkait dengan jumlah anggota PPK dan umur anggota PPK, PPS, dan KPPS minimal berumur 17 tahun. Disatu sisi di UU No. 10 Tahun 2016 minimal berusia 25 tahun. Dua hal inilah yang masih menjadi perdebatan.
“Badan adhoc biasanya dari Pilkada ke pilkada akan menyambung menjadi penyelenggara adhoc pada Pemilu. Sementara tahapan pilkada berhimpitan dengan tahapan pemilu, artinya tidak mungkin PPK dan PPS nya berbeda,” tutur Aksar. (WR-02)