Mau Jadi Apa Setelah Lulus Sarjana Pertanian?

3793
Ilustrasi Sarjana: mtsierra.edu

Oleh: M. Firdaus, PhD

Saat ini baru saja siswa kelas akhir SMA mengikuti salah satu jalur seleksi masuk perguruan tinggi dengan sistem undangan yang baru, implementasi perubahan tata cara masuk perguruan tinggi sebagai pelaksanaan amar MK tentang pembatalan UU BHP. Siswa diberi pilihan sekaligus banyak PTN, dimana pada kurun waktu sebelumnya setiap PTN menawarkan undangan masuk bagi siswa SMA secara sendiri-sendiri. Kelihatannya tantangan pendidikan tinggi pertanian untuk mendapatkan input mahasiswa yang bagus semakin besar.

Sudah menjadi fenomena, tidak hanya di Indonesia, termasuk di di Amerika Serikat, Filipina dan negara lain yang “basisnya” pertanian, terjadi penurunan minat kuliah di bidang pertanian. Merujuk studi Sjafrida dan Firdaus (2009), selama kurun waktu lima tahun terakhir terjadi penurunan minat siswa untuk masuk ke peguruan tinggi bidang pertanian. Kecuali hanya di beberapa perguruan tinggi seperti IPB dan  beberapa universitas di Jawa Timur, di banyak perguruan tinggi terjadi bangku kosong untuk bidang pertanian yang ditawarkan. Tidak kurang terdapat lebih dari 5 ribu bangku kosong di tahun 2008. Dengan demikian menjadi pertanyaan besar, bila dikatakan pembangunan pertanian untuk Indonesia masih penting, bagaimana kualitas sumberdaya manusia yang akan menjadi penggeraknya? Apa yang dapat mendorong minat siswa sehingga nantinya akan membawa perbaikan konfigurasi ketenagakerjaan di bidang pertanian?

Terlebih dahulu mari kita tengok konfigurasi ketenagakerjaan Indonesia dikaitkan dengan aspek pendidikan. Dari data Keadaan Pekerja BPS, hampir 40 persen tenaga kerja di Indonesia  masih hanya lulus SD atau bahkan tidak tamat SD sama sekali. Yang tamat SMU/SMK sebanyak 28 persen, lebih tinggi 8,5 persen daripada yang tamat SMP. Menarik pula, ternyata proporsi yang bergelar sarjana juah lebih tinggi daripada yang lulus dari program diploma, yang bila ditotalkan keduanya mengambil porsi lebih dari 12 persen. Komposisi ini tentunya sangat berbeda dengan negara yang lebih dulu berkembang, dimana proporsi tenaga kerja didominasi oleh lulusan sekolah menengah kejuruan atau lulusan program diploma (politeknik, community college). Lebih dalam lagi, konfigurasi ketenagakerjaan untuk sektor pertanian di Indonesia ternyata masih jauh lebih buruk. Hanya 0,1 persen dari yang bekerja di sektor ini yang berpendidikan sarjana; lebih tinggi sedikit, yaitu sekitar 0,2 persen pekerja menamatkan jenjang diploma, dan hanya sekitar 7 persen di antara pekerja pertanian yang tamat sekolah menengah atas.

Penelusuran lebih lanjut terhadap minat lebih dari 4 ribu siswa peserta SNMPTN (Sjafrida dan Firdaus, 2010), diketahui bahwa mayoritas untuk pilihan pertama bidang kuliah diberikan siswa tersebut untuk bidang teknik dan kesehatan. Bidang pertanian menjadi pilihan pertama sekitar 12 persen siswa, berada di bawah bidang sosial dan bidang pendidikan (MIPA). Diindikasikan pula daris studi tersebut motivasi utama dalam menentukan pilihan tersebut adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan adanya peluang untuk berwirausaha. Selain itu peran orang tua sangat dominan dalam pengambilan keputusan siswa. Hal ini sebenarnya adalah lumrah. Survey di USA yang dilakukan oleh Marklein (2007) juga menunjukkan faktor mencari pekerjaan yang baik juga merupakan pertimbangan utama dalam memilih kuliah di bidang apa, setelah pertimbangan reputasi akademik perguruan tinggi bersangkutan. Dari fakta empirik tadi, patut menjadi pertanyaan, sejauhmana bidang pertanian mempunyai prospek bagi siswa yang memutuskan untuk mendalaminya?

Jawaban tentunya terkait dengan prospek pertanian di masa depan. Cara paling mudah yang biasanya digunakan pakar untuk melihat peran pentingnya pertanian antara lain dengan menggunakan jargon 5F atau FEW. Untuk 5F, pertanian akan selalu penting di suatu negara karena merupakan penyedia pangan untuk manusia, pakan untuk ternak, bioenergi, serat dan sumber pendapatan serta devisa atau food, feed, fuel, fiber and finance. Sedangkan FEW muncul terkait isu krisis global terkini yaitu krisis pangan, energi dan  air atau food, energy and water. Untuk Indonesia, yang tercatat porsi terbesar dari masyarakatnya masih bekerja di bidang pertanian, tentulah tidak perlu diperdebatkan pentingnya sektor ini. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana memberi keyakinan kepada orang muda bahwa berusaha atau bekerja di sektor pertanian memang akan memberikan masa depan yang baik.

Sebagai contoh bila di era 70-an jurusan Tanah adalah termasuk bidang yang diminati lulusan sekolah menengah, karena waktu itu bekerja di bidang Agraria akan memberikan pendapatan yang baik, yang berbeda dengan sekarang. Padahal dengan cara yang sama, orang dapat diyakinkan bahwa dengan kuliah di sana misalnya orang dapat menjadi pengusaha pupuk (organik) yang sukses. Di salah satu universitas ternama di Belanda, jurusan ini masih menjadi bidang yang paling diminati siswa karena aspek ini menjadi tantangan utama di sana untuk keberhasilan berusaha di bidang pertanian.

Peternakan dan Perikanan Budidaya yang juga semakin kurang diminati oleh siswa SMA, sebenarnya bisa sangat prospektif. Para pimpinan daerah saat ini berbondong-bondong datang ke Solo, guna menyaksikan bisnis sukses di bidang peternakan yang dilakukan oleh seorang mantan dosen UGM. Meksipun komoditi utamanya sapi perah, namun core business-nya adalah biogas, pupuk organik, yang diintegrasikan dengan budidaya ikan patin, shingga dengan luasan lahan sekitar 13 hektar, ia mampu meraih omset tidak kurang dari seratus milyar rupiah per bulan. Nilai yang harusnya mampu menggiurkan minat siswa SMA untuk kuliah di bidang ini. Selain itu sarjana peternakan tidak harus sebatas menjadi pengusaha ayam atau ternak besar yang cukup berisiko. Setelah lulus tidak mustahil menjadi pebisnis sukses karena mempunyai waralaba yoghurt atau produk dari susu lainnya. Atau seorang sarjana perikanan dapat menjadi pengusaha ikan hias karena dibekali ilmu menyilangkan berbagai jenis, atau menjadi pemasok bibit ikan yang beromset milyaran rupiah.

Demikian pula kuliah di bidang Hama dan Penyakit atau Proteksi Tanaman yang juga merupakan bidang yang jarang dipilih sekolah siswa SMA saat ini.  Ketidaktahuan akan menjadi apa nanti mungkin salah satu penyebabnya. Padahal selain  bekerja di Karantina atau instansi lain, menjadi pengusaha pestisida (botanis) yang akan semakin dibutuhkan di masa mendatang harusnya dapat diyakinkan kepada calon siswa.

Memang tidak mudah mengubah cara berfikir anak muda kita. Kebiasaan yang serba instan juga menyebabkan banyak yang tidak mempersiapkan diri dengan baik saat memasuki dunia riil setelah keluar dari perguruan tinggi. Di sisi lain, perguruan tinggi memang harus dapat meyakinkan dan membantu calon mahasiswa untuk mewujudkan niat mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah jadi sarjana. Beberapa ilustrasi di atas menunjukkan pentingnya jiwa kewirausahaan dalam berbagai bidang kuliah di pendidikan tinggi pertanian. Syukur saat ini banyak perguruan tinggi sudah menekankan pentingnya kewirausahaan sebagai pelengkap bekal ilmu bagi calon sarjana. Tekad yang keras dan keberpihakan sangat diharapkan dari setiap pemimpin perguruan tinggi, sehingga menjadikan anak didiknya wirausahawan menjadi karakter yang melekat dalam misinya.

Writer is Vice Dean, Faculty of Economics and Management
Bogor Agricultural University

Sumber: ristekdikti.go.id