Wartantb.com – Dengan pertimbangan bahwa gambut merupakan ekosistem rentan dan telah mengalami kerusakan yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, pemerintah memandang harus dilakukan upaya-upaya yang intensif dalam perlindungan dan pengelolaannya. Karena itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dinilai perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.
Atas dasar pertimbangan tersebut, pada 2 Desember 2016, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor: 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor: 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Dalam PP baru ini pemerintah menegaskan, gambut adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada rawa.
Menurut PP ini, Menteri (yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pengelolaan hutan dan lingkungan hidup) wajib menetapkan fungsi lindung Ekosistem Gambut paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh luas Kesatuan Hidrologis Gambut yang letaknya dimulai dari 1 (satu) atau lebih puncak kubah Gambut.
Selanjutnya, fungsi Ekosistem Gambut yang telah ditetapkan oleh Menteri sebagai fungsi lindung dan fungsi budidaya Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud disajikan dalam bentuk peta fungsi Ekosistem Gambut.
“Peta fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud terdiri atas: a. peta fungsi Ekosistem Gambut nasional yang disajikan dengan skala paling kecil 1 : 250.000; dan b. peta fungsi Ekosistem Gambut provinsi dan kabupaten/kota yang disajikan dengan skala palingkecil 1:50.000,” bunyi Pasal 10 ayat (2) PP ini.
Perubahan fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang tata ruang, menteri terkait, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
“Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut provinsi sebagaimana dimaksud disusun untuk Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut lintas kabupaten/kota,” bunyi Pasal 14 ayat (3) PP tersebut.
Dijelaskan dalam PP ini, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Nasional disusun dan ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan: a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang; b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air; c. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan dan pembangunan nasional; dan d. menteri terkait lainnya.
Adapun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Provinsi disusun dan ditetapkan oleh gubernur sesuai dengan kewenangannya. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut kabupaten/kota disusun dan ditetapkan oleh bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
“Penetapan rencana Perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut oleh gubernur atau bupati/wali kota harus terlebih dahulu dikonsultasikan secara teknis dan mendapat persetujuan dari Menteri,” bunyi Pasal 16 ayat (4) PP ini.
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud harus memperhatikan: a. keragaman karakter lisik dan biofisik fungsi ekologis; b. sebaran potensi sumber daya alam; c. perubahan iklim; d. sebaran penduduk; e. kearifan lokal; f. aspirasimasyarakat; g. rencana tata ruang wilayah; dan h. upaya pemulihan kerusakan Ekosistem Gambut.
Perubahan rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang dilakukan oleh gubernur atau bupati/wali kota, menurut PP ini, harus terlebih dahulu dikonsultasikan secara teknis dan mendapat persetujuan dari Menteri.
Ditegaskan dalam PP ini, setiap orang dilarang: a. membuka lahan baru (land clearing) sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal Ekosistem Gambut untuk tanaman tertentu; b. membuat saluran drainase yang mengakibatkan Gambut menjadi kering; c. membakar lahan Gambut dan/atau melakukan pembiaran terjadinya pembakaran; dan/ atau d. melakukan kegiatan lain yang mengakibatkan terlampauinya kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut.
Menurut PP ini, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut yang menyebabkan kerusakan Ekosistem Gambut di dalam atau di luar areal usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pemulihan sesuai kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan.
“Pemulihan dilakukan dengan cara: a. suksesi alami; b. rehabilitasi; c. restorasi; dan/atau d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” bunyi Pasal 30 ayat (4) PP ini.
Adapun restorasi, menurut PP ini, dilakukan den: a. penerapan teknik-teknik restorasi: a. mencakup pengaturan tata air di tingkat tapak; b. pekerjaan konstruksi, operasi, dan pemeliharaan yang meliputi penataan infrastruktur pembasahan (rewetting) Gambut; dan/atau c. penerapan budidaya menurut kearifan lokal.
“Restorasi sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan mempertimbangkan penelitian dan pengembangan dengan memperhatikan dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan perspektif internasional,” bunyi Pasal 30A ayat 2 PP ini.
Dalam hal pemulihan sebagaimana dimaksud merupakan akibat kebakaran dan penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan tidak melakukan pemulihan fungsi Ekosistem Gambut sebagaimaaa dimaksud dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga putuh) hari sejak diketahuinya terjadi kebakaran, menurut PP ini, Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota berkoordinasi dalam pemulihan fungsi Ekosistem Gambut atas beban biaya penangguntgjawab usaha dan/ atau kegiatan untuk pelaksanaan lapangan.
“Terhadap areal perizinan usaha dan/atau kegiatan terdapat Gambut yang terbakar, pemerintah mengambil tindakan penyelamatan dan pengambilalihan sementara areal bekas kebakaran untuk dilakukan verifikasi oleh Menteri,” bunyi Pasal 31B ayat (1,2) PP tersebut.
Ditegaskan dalam PP ini, Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut yang melanggar ketentuan dikenai sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (3).
Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut tidak melaksanakan paksaan pemerintah, Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota memberikan sanksi administratif berupa pembekuan izin lingkungan.
Dan dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut tidak memenuhi ketentuan dalam pembekuan izin lingkungan sebagaimana dimaksud, Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota memberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin lingkungan.
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal II Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 6 Desember 2016 itu. (Pusdatin/ES)